JAKARTA, KOMPAS — Peringkat daya saing digital Indonesia pada 2018 berada di posisi ke-62, turun dari posisi ke-59 pada tahun lalu. Penurunan peringkat ini dipengaruhi kurangnya pengembangan pekerja berketerampilan tinggi. Akibatnya, serapan atau integrasi teknologi baru di sektor swasta dan masyarakat rendah. Pemeringkatan daya saing digital ini dilakukan Institute of Management Development.
Institute of Management Development (IMD) adalah sekolah bisnis yang berpusat di Swiss. IMD menerbitkan riset peringkat daya saing digital dunia sejak tahun 2017. Riset yang menyasar 63 negara di dunia ini bertujuan menilai adopsi dan eksplorasi teknologi digital suatu negara untuk kepentingan transformasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat.
Director of IMD World Competitiveness Center Arturo Bris, dalam siaran pers, Selasa (19/6/2018), menyebutkan, 29 negara yang diteliti mengalami kenaikan peringkat, sebanyak 26 negara turun peringkat, dan 8 negara tidak berubah. Amerika Serikat dinilai telah meningkatkan pengetahuan dan adopsi teknologi sehingga berhasil membuatnya naik dari peringkat ketiga menjadi pertama.
Menurut Arturo Bris, peningkatan daya saing bisa diperoleh melalui pelatihan karyawan, pekerjaan ilmiah dan teknis, serta memanfaatkan teknologi untuk berbagai kebutuhan.
Indonesia dianggap telah mempunyai kesadaran adaptasi terhadap globalisasi. Kalangan pebisnis juga lincah mengadopsi teknologi data berukuran besar. Akan tetapi, tingkat partisipasi warga terhadap sistem elektronik dan tata kelola secara elektronik masih rendah.
1.000 rintisan
Secara terpisah, pelaksana program Gerakan Nasional 1.000 Usaha Rintisan Digital, Yansen Kamto, menyebutkan, 137 perusahaan rintisan sedang mengikuti kegiatan pembinaan atau inkubasi. Usaha rintisan tersebut menciptakan aneka solusi untuk industri, seperti sektor kesehatan, pendidikan, dan energi.
Yansen menjelaskan, perusahaan-perusahaan itu hasil seleksi dari serangkaian kegiatan program Gerakan Nasional 1.000 Usaha Rintisan Digital sejak 2016 di 10 kota besar di Indonesia. Kegiatan tersebut diikuti 40.000 pendaftar.
”Tantangan terbesar adalah menemukan tim pendiri yang memiliki jiwa kewirausahaan teknologi yang kuat, tidak pantang menyerah, dan mau terus berinovasi,” ujar Yansen.
Kewirausahaan di bidang teknologi, lanjutnya, diminati banyak anak muda. Akan tetapi, sedikit di antara mereka yang memiliki keberanian untuk terus berinovasi dan tidak takut gagal.
Sejumlah perusahaan berskala besar lokal pun belum memiliki kesadaran berkolaborasi dengan usaha rintisan teknologi.
Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, East Ventures berinvestasi tahap awal pada sekitar 120 perusahaan rintisan. Dari jumlah itu, sekitar 100 perusahaan masih aktif.